Rabu, 06 Januari 2010

Lagi, Setelah Sekian Lama (pengalaman yang terulang)


"Sucikanlah Nama Tuhanmu yang Paling Tinggi"

Kalimat tersebut terdapat dalam sebuah buku karya Amin Maalouf yang berjudul Nama Tuhan yang Keseratus. Buku fenomenal yang mengisahkan perjalanan seorang saudagar kaya keturunan Genoa yang berasal dari Gibelet, Baldassare Embriaco. Dalam buku yang bergenre Novel tersebut, yang merupakan buku harian catatan perjalanan Baldassare dalam mencari sebuah buku langka yang memuat nama Tuhan yang keseratus selain 99 nama yang biasa dikenal oleh umat muslim, memuat semua hal yang dialami, dirasakan, diperkirakan, disesali, bahkan berusaha untuk dilupakan oleh Baldassare, Sang tokoh utama. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas buku tersebut lebih lanjut.. Hanya saja, saya rasa cukup penting untuk menyebutkan buku tersebut dalam tulisan ini, karena berkat buku tersebutlah maka tulisan ini dibuat.

Satu hal yang merupakan hikmah dari membaca buku tersebut adalah bahwa mencatat kisah hidup yang dialami merupakan sebuah hal yang penting. Sangat penting bahkan. oleh karena itu saya memantapkan hati untuk mulai menulis lagi. Melalui blog ini tentu saja.

Tidak seperti Baldassare yang membuat catatan perjalanan hidupnya tanpa bermaksud untuk membiarkan orang lain membacanya, saya dengan kesadaran penuh bermaksud untuk membiarkan orang lain dapat membaca tulisan ini. Tentu saja, dengan tidak menuliskan hal yang saya anggap tidak pantas untuk dibaca oleh orang lain. Baik karena hal tersebut dapat melukai yang membaca, ataupun karena hal tersebut mungkin saja dapat mencederai kehormatan saya bila diketahui orang lain. Oleh karena itu, setiap hal yang saya tuliskan, baik saat ini maupun nanti, sudah melalui pertimbangan matang bahwa hal ini memang patut diberitakan kepada khalayak semua.

Pada kesempatan pertama ini, hal yang ingin saya ceritakan adalah mengenai hikmah dalam melakukan perjalanan menggunakan jasa transportasi utama bagi orang yang terbatas dananya semacam saya.

Minggu 3 Januari 2010

Setelah menghabiskan waktu liburan Natal dan Tahun Baru yang cukup lama di Kota Budaya Yogyakarta tercinta, tibalah saatnya bagi saya untuk kembali pulang ke kota asal yaitu Jakarta yang tidak kalah tercintanya. Tentu saja, pilihan utama saya adalah menggunakan jasa transportasi Kereta Api kelas Ekonomi PROGO jurusan Yogayakarta-Jakarta. Jadwal keberangkatan Kereta adalah pukul 16:45 WIB. Hari ini adalah hari terakhir masa liburan bagi pegawai negeri serta pelajar sekolah. Esok adalah hari pertama bagi mereka untuk masuk kerja atau sekolah. Sehingga dapat diperkirakan bahwa penumpang kereta akan membludak. Oleh karena itu saya berusaha untuk tiba di stasiun lebih cepat agar dapat tempat duduk (hingga tanggal 4 Januari 2010 tiket kereta api kelas ekonomi dijual bebas tempat duduk, artinya siapa cepat menempati tempat duduk, maka dia yang berhak duduk di tempat tersebut) sehingga perjalanan pulang saya dapat terasa nyaman. Maka saya berusaha untuk tiba di stasiun lebih cepat. Sekira pukul 15:30 WIB saya telah sampai di stasiun Lempuyangan Yogyakarta. Kemudian sya membeli tiket, masuk peron, dan mendapati sebuah kenyataan yang mengejutkan.



Di luar rangkaian gerbong kereta api PROGO yang sudah dilangsir (baca: diparkir)di jalur nomor dua telah berdiri puluhan manusia, bahkan mungkin ratusan yang berusaha untuk masuk ke dalam kereta. Namun apa daya, kereta yang seyogyanya mengangkut mereka ke jakarta tersebut tidak lagi sanggup menampung penumpang karena telah terisi penuh. Tidak hanya bangku, lantai di sepanjang lorong gerbong, bordess, bahkan toilet pun telah terisi dengan ratusan manusia yang bermaksud sama, yaitu menuju jakarta. Hanya saja mereka telah datang lebih dulu di stasiun sehingga dapat menempati ruang kosong apapun yang ada di dalam kereta.

Melihat hal ini, tentu saja musnah sudah harapan saya untuk dapat kembali ke jakarta hari ini. Pilihan yang ada adalah naik kereta kelas bisnis, atau menunda keberangkatan hingga esok hari. Pilihan yang mungkin saya ambil adalah yang kedua. Tentu saja alasannya adalah keterbatasan dana. Uang saya yang tersisa hanya 122 ribu rupiah, sedangkan harga tiket kelas bisnis adalah 120 ribu. Pun mampu membeli tiket kereta, tentu saya tidak akan mampu untuk membayar ongkos angkot dari stasiun menuju rumah nantinya. Dengan keikhlasan yang sedikit dipaksakan, saya terpaksa melepaskan kesempatan saya pulang hari ini.

Tiket sudah terlanjur saya beli namun hak saya untuk naik kereta tidak terpenuhi, siapakah yang bertanggung jawab akan hal ini? Tentu saja saya tidak rela jika diharuskan menanggung tanggung jawab akan telah terbelinya tiket kereta. Oleh karena itu saya berniat untuk membatalkan pembelian tiket tersebut dan ditukarkan kembali dengan uang saya, atau dengan tiket untuk keesokan harinya. Saat inilah saya mengalamai hal yang sangat tidak mengenakkan hati(lagi). Petugas penjualan tiket kereta berbalik memarahai saya saat saya melontarkan maksud saya untuk mengembalikan tiket tersebut dan meminta uang saya kembali.

"Tadi udah liat khan kalo keretanya penuh?!"
pertanyaan retoris tersebut dilontarkan oleh petugas itu. Dapat dipahami dengan jelas bahwa keinginan saya untuk menukarkan tiket tersebut tidak akan dipenuhinya.

"Kalo penuh sih wajar, namanya liburan pak. Tapi saya ga bisa masuk kereta!", dengan sedikit menahan kejengkelan saya berusaha untuk melunakkan suara saya sehingga masih terdengan sopan.

"Salah sendiri kenapa tadi beli tiket?!", jelas sekali pernyataan barusan menuduh saya yang bersalah, dan tentu saja tidak dapat saya terima.

"Tadi waktu jual tiket dihitung GA PAK? Berapa jumlah TIKET YANG DIJUAL dan jumlah KAPASITAS KERETA APInya disesuaikan GAK?!", geram akan jawaban yang tadi saya terima, maka pernyataan tersebut saya lontarkan dengan keras sehingga membuat petugas tersebut enggan dan berpaling muka dari saya.

Merasa tidak ditanggapi saya hampir naik pitam, namun kemarahan saya terlupakan sejenak karena ada beberapa penumpang yang bertanya pada saya apakah tiketnya dapat diuangkan kembali atau tidak. Beberapa penumpang dengan nasib yang sama dengan saya. Kesamaan nasib pasti menimbulkan simpati dan empati. Dengan suara yang sengaja saya kencangkan saya menjawab, "Kalo ga boleh pukulin aja petugasnya!".

Mendengar hal itu petugas tadi kembali berbalik ke arah saya dengan raut muka geram, dan dengan kecepatan dan kesigapan yang sempat memukau saya, dua orang satpam stasiun langsung berjaga di kanan dan kiri saya. Melihat gelagat ini saya menyiapkan kepalan tinju bersiap jika mereka melakukan hal yang dapat merugikan saya. Perdebatan kembali terjadi antara saya dan petugas tersebut, dengan tatapan siaga kedua satpam yang berdiri makin mendekat di sisi saya.

Sampai sekarang saya belum pernah kalah berdebat saat mempertahankan hal yang menjadi hak saya (yang mana hal ini sangat saya banggakan), maka demikian pula yang terjadi sore ini. Petugas tersebut tidak lagi dapat menanggapi pernyataan saya dengan pernyataan yang masuk akal dan logis. Ya, sayalah pemenangnya pada sore itu. Kedua satpam yang masih tampak beringas itu memang tidak menurunkan kadar keberingasannya, namun mereka seakan tidak berani bertindak lebih jauh dari itu. karena saya lah pemenangnya. Tapi apa yang didapatkan pemenang dari perdebatan memperebutkan haknya selain sesuatu yang memang sudah menjadi haknya tersebut? Mengingat hal ini, sebenarnya saya sudah kalah. Saya terpaksa mengeluarkan daya dan upaya lebih hanya sekedar untuk mendapatkan apa yang seharusnya saya dapatkan tanpa daya dan upaya apapun.

Tapi apa yang menjadi hak saya tersebut adalah sebuah hal yang sangat berarti bagi saya. Meskipun hanya bernilai Rp. 35.000, - tapi jumlah itu adalah jaminan bagi saya dapat kembali ke rumah tercinta, dan menghindarkan saya dari kemungkinan hidup menggembel di Yogya karena jujur saja bekal liburan saya sudah tiada bersisa.

Setelah menerima uang yang merupakan hak saya tersebut, saya keluar meninggalkan stasiun sambil sesekali menegok kebelakang dan menggumamkan kata
"Besok kita ketemu lagi!"

Rabu, 18 Februari 2009

Satu lagi...

tadi pagi, setelah bangun dari tidur yang seharusnya lelap, ada sedikit harapan yang gw sampaikan kepada pemilik kehidupan. gw berharap semoga hariini dipenuhi oleh kejadian yang tak terduga. yang memberi gw makna. bukan cuma kejadian biasa yang begitu-begitu aja. karena, buat gw, menjalani hari dan kehidupan yang begitu-begitu saja tak ubahnya tidak menjalani apa-apa. lalu, serasa hidup ini ga guna.

intinya, cuma mau sedikit berbagi cerita. belum lama setelah diucapkannya do'a, gw langsung dikejutkan oleh sebuah berita. Ponari akhirnya muncul saingannya. dewi setiani namanya. bocah cilik juga. pasiennya udah ngantri sampe dewi g asanggup juga nanganinnya.. ckckck. Gila

mau jadi apa dunia?!
salah siapa sih akhirnya jadi banyak banget yang percaya sama hal-hal begituan. kenapa juga seseorang menggantungkan harapan pada sebuah hal yang sebenernya ga lebih berharga dari dirinya. terus, siapa yang salah hingga semua orang tersebut akhirnya mencari sebuah pemenuhan kebutuhan akan sembuh dari sakitnya dengan cara yang secepat-cepatnya.

mental bangsa ini sudah gila.

Selasa, 17 Februari 2009

Sudah Malam Ternyata

ga sadar, ternyata hari sudah malam. sudah saatnya pulang. sayang, hari ini ga ada hal menarik untuk ditulis dan dipublikasikan di blog gw yang satu lagi. konsekuensilogis,blogspot.com

tapi yaudahlah. sebaiknya sekarang beres-beres, terus pulang deh..
malam semua...

Minggu, 21 Desember 2008

yg keren ngapain y?

BiNGuNG...

badan lemes banget, ngantuk, tapi males tidur. setelah lebih kurang 2 bulan disibukkan dengan segala macam tugas, urusan, kegiatan, dan kerjaan, akhirny diberi kesempatan utk beristirahat sejenak tanpa ad hal apapun yg perlu dilakukan.

pertanyaan yg sampai sekarang masih menggantung di kepala adalah “sekarang mau ngapain ya??”