Minggu, 21 September 2008

Akhirnya gw tau rasanya gimana

Beberapa minggu sebelum gw mengakhiri hubungan gw dengan seseorang yg mengakui bahwa dia sangat mencintai dan menyayangi gw, ada sebuah pertanyaan yg selalu menggelayut manja dibenak gw untuk beberapa lama. Apakah dia memang mencintai dan menyayangi gw?

Beberapa minggu setelahnya, pertanyaan itu menguap entah kemana seiring berakhirnya hubungan gw, dan munculnya perasaan suka pada seseorang yg gw sendiri ga tahu kenapa. muncul gitu aja, dari sekedar suka, berlanjut dengan hubungan pertemanan yg ga biasa, sampe akhirnya gw sadar mungkin cuma gw aja yg punya rasa.

Kejadian ini menyadarkan gw akan beberapa hal.

Pertama : Ternyata dia memang mencintai dan menyayangi gw apa adanya. gw sadar akan hal ini setelah gw berkaca ke diri gw sendiri. gw sadar setelah membaca notes salah satu temen gw yg di dalamnya ad quotes yg gw ga tau punya siapa. gini bunyi quotesnya
“ If U loves some one, then U should let them go. If they come back, then they're yours to keep”
quotes ini ternyata mang bener adanya. saat gw sadar bahwa ga mungkin lagi gw berharap untuk memilikinya. dan kalo gw bener sayang en cinta ma dia, gw harus merelakan dia pergi menjalani hidupnya sendiri. dan inilah yg gw lakuin. hal ini juga yg dilakukan oleh orang yg mengakui bahwa dia sayang en cinta ke gw. dia merelakan kepergian gw untuk menjalani hidup gw sendiri. bahkan merelakan gw untuk mencari sebentuk cinta lain diluar sana. dengan sebuah janji, kalau ternyata gw memutuskan untuk kembali, hal itu ga akan di sia2kan lagi. Subhanallah, Allah mengajarkan gw sesuatu lewat cara yg sangat mengena.

Kedua : Kejadian ini juga menyadarkan gw akan sebuah hal yg dari dulu gw cari. apa sebenernya mau gw? sebuah pertanyaan sederhana yg sampe sekarang gw ga tau jawabannya apa. yap, jawaban dari pertanyaan ini bisa jadi apa aja. tapi kalo disangkutkan ke masalah asmara, pertanyaan bwt gw adalah Apakah gw mencari orang yg sayang en cinta ma gw, atawa orang yg gw sayang en cinta? jawaban jujur dari gw adalah gw mencari orang yg gw sayang en cinta dan diapun sayang en cinta ma gw. huffs.. idealis bgt y. tapi kayaknya gw bisa dapetin hal itu, tidak sekarang tentunya, nanti saat gw berjanji untuk menjalani hidup dengannya sehidup-semati.

Sekarang yg akan gw lakukan adalah meraih cita2 demi terwujudnya Impian Besar gw. jadi presiden Republik Indonesia ^_^

Langkah pertama, jadi ketua BEM UI periode berikutnya.

Seandainya...

Ternyata bisa juga gw putus asa, baru sadar nyatanya gw cuma manusia biasa.
Padahal gw udah coba tuk bertahan, rasanya lebih berat dari 3 hari ga makan.
Sekarang bingung mau gimana lagi, mungkin begitu mungkin begini.

Kata orang yg penting usaha, yg diliat proses bukan hasilnya.
Tapi kalo gini hasil akhirnya, siapa yg mau coba gw tanya?

Lama-lama gw jadi bingung, kayak anak kucing disekep di karung.
Mungkin gw mang harus sadar, dianya udah ga mau lagi gw kejar.
Saat ini gw harus merubah mimpi, saatnya gw ikhlaskan hati.

Tapi tetep aja gw ga rela, cuma satu kata yg keluar saat berdoa.

SEANDAINYA...

Selasa, 02 September 2008

Nyindoro part 2 : The Long and Winding Road

“Udah siap semua khan Ting?”
Pertanyaan yang seharusnya gw ajukan ke semua anggota kelompok, malah gw ajukan cuma ke satu orang. Sebenarnya ga representatif. Apakah kalo gw nanya soal kesiapan dia berarti semua juga udah siap? Sadar akan kenyataan itu, gw meralat pertanyaan. Pertanyaan itu sekali lagi gw ulang, tapi kali ini gw ajukan ke semua orang.
”Udah siap semuanya khan?”.
”Udah bir, ne gw udah selesai baca semua bab yang bakalan keluar pas UTS”.
Sebuah suara yang gw ga tahu punya siapa menjawab pertanyaan gw. Tapi anehnya kok ga ada hubungannya sama perjalanan kali ini ya? Nah lho, salah lagi gw. Wajar aja lah, ga semua anggota keluarga Gandewa yang lagi kumpul di taman Akademaus ini akan berpartisipasi dalam perjalanan pendakian ke gunung Sindoro. Tapi gw bersyukur, pun ga semua ikut –dengan keterbatasan masing-masing tentunya, hampir semua anggota keluarga Gandewa ikut melepas kepergian kami menuju perjalanan yang akan kami buat menyenangkan ini. Bahkan walaupun ada yang mau UTS, dia menyempatkan diri untuk melepas kepergian kami. Aduh, terharu sekali.
”Adoeh, yang gw maksud apakah semua yang mau jalan udah siap?”, pertanyaannya lagi-lagi gw ralat.
”Udahhhh”, koor serempak semua orang yang ada di sisi taman milik Fakultas Psikologi yang dinaungi oleh dua buah pohon jenis cemara menyeruak membelah udara.
”Syukur Alhamdulillah kalo gitu. Ya udah, kita berdoa dulu yuks”, sebuah ajakan dengan harapan akan keselamatan perjalanan.
Kami semua berdiri melingkar saling mengaitkan tangan tanda kebersamaan. Dengan kepala tertunduk dan usaha untuk berkomunikasi dengan Pencipta. Sebuah doa dipanjatkan dengan harapan dikabulkan.
”Sebelum perjalanan dimulai, mari kita sama-sama menundukkan kepala, berdoa memauhon ke Hadirat Yang Maha Kuasa, semauga perjalanan menyenangkan kali ini dibarengi dengan keselamatan. Dan semauga perjalanan ini diberi makna yang berbentuk pengalaman yang tak akan terlupakan. Berdoa menurut agama dan kepercayaan mayoritas, saya persilahkan”
”Woi, yang bener aja. Masa berdoa harus dipaksakan menurut kepercayaan mayoritas sich”. Sebuah protes yang sebenarnya bernada keras, tapi karena dilontarkan dengan tawa dan senyuman, malah membuat semua orang tertawa.
”He, he, he. Sori bercanda. Biar rileks” Bercandaan yang tepat sasaran. Melepaskan sedikit ketegangan dan kekhawatiran akan perjalanan yang cukup beresiko tersebut.
“Oke, oke. Kita ulangin doanya. Berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing, saya persilahkan”.

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

”Ayo mas, masukin aja semua barangnya ke bagasi”, teriakan dari kondektur bis Dieng Indah jurusan Bogor-Wonosobo berusaha menyaingi deru bising mobil yang lalu-lalang di sepanjang jalan raya bogor km. 30. Daerah yang dinamakan Pal ini memang merupakan tempat mangkal bis-bis jurusan Jawa Tengah dan Jawa Timur dari arah Bogor. Di tempat ini banyak sekali agen ”resmi tak resmi” penjualan tiket bis dengan trayek wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
”Mas, jangan lupa uang bagasi ya”, kondektur tersebut, meminta sedikit uang untuk memuat barang kami di bagasi.
”Lho, di tiket ditulisnya biaya bagasi gratis bang”, mau ga mau protes untuk biaya yang tidak terduga tersebut.
”Yah, mas, barang-barang mas ini kan makan tempat. Anggep aja uang pengganti jatah penumpang laen yang ga mungkin bisa dimasukkin ke bagasi. Karena tas-tas mas ini kan gede-gede, jadi penuh bagasinya”. Argumentasi yang sebenarnya sedikit masuk akal. Tapi, karena merasa berhak memuat barang di bagasi tanpa bayar, terpaksa mengeluarkan argumen bantahan,
”Tapi kan, kita tetep punya hak masukin barang di bagasi bang. Lagian kalo ga dimasukin bagasi mau ditaro mana?”
”Iya sich mas, tapi anggep aja kasih uang rokok lah”. Keluar dah maksud asli dari sang kondektur.
Sebenarnya hati kecil tidak menyetujui praktik seperti ini. Jelas sangat merugikan penumpang. Apalagi kalau penumpangnya mahasiswa. Tahu sendiri mahasiswa duitnya seret. Tapi, karena tidak mau memperpanjang urusan, akhirnya terjadilah praktik merugikan tersebut. Tapi, biar ga dosa-dosa amat, niatnya diganti. Jadi niat untuk ngasih uang tips sekedarnya untuk pelayanan yang sebenarnya sudah selayaknya kami dapatkan. Tapi ya udahlah.
”Lima belas ribu aja ya bang, ga ada duit banyak nich. Ngepres”.
”Gapapa lah, yang penting ikhlas. Hehehe”, sebuah pernyataan konyol sebenarnya. Mana ada yang ikhlas dimintain duit yang ga seharusnya dikeluarin? Ops, batal dah niat gw yang mau ngasih tips ala kadarnya. Kan terhitung sedekah tuh. Yah, terpaksa ngalahin ego dan tersenyum kecil sambil menyerahkan dua lembar lima ribuan dan lima lembar uang pecahan seribu perak. Biar seenggaknya, dapat pahala. Biar dikit juga. Hehehe

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

”Ne berapa orang pak?”, tanya om kondektur kepada seorang bapak saat memeriksa tiket para penumpang yang budiman. Aneh sebenarnya. Ngapain om kondektur nanya lagi? Emangnya dia ga bisa lihat kalo di bangku itu ada dua orang? Si bapak dan sang anak yang duduk di sebelahnya. Jangan-jangan cuma gw doang yang ngeliat tuh anak. Kalo bener mah serem banget. Hari masih terhitung siang, karena matahari masih nongol biar ketutup awan juga, masakah ada hantu?
”Satu orang pak”, nah lho, jawaban tu bapak bikin gw makin merinding,
”Terus anaknya gimana?”, kondekturnya nanya lagi.
”Ya ntar dipangku”, jawaban si bapak akhirnya membuat gw tenang. Ternyata sang anak mang keliatan. Alhamdulillah, ga jadi parno sendirian gw. Ternyata om kondektur cuma menanyakan untuk memastikan apakah sang anak dibelikan karcis atau tidak. Karena tidak dibelikan, maka harga yang harus dibayar adalah sang anak tidak mendapatkan tempat duduk seandainya bis yang kami tumpangi ini dipenuhi oleh penumpang yang sudah menunggu di agen bis Kalimalang. Kalo dipikir pake logika mah, palingan si bapak yang akan merelakan tempat duduknya untuk ditempati sang anak. Pun bila tidak, setidaknya sang anak akan dipangku oleh si bapak sampai Wonosobo. Rencana yang cukup gila. Dipikirnya jarak Jakarta-Wonosobo cuma selemparan batu, 12 jam naek bis sambil mangku anak lumayan juga. Lumayan pegel, ngeselin pula. Hehehe. Mungkin aja si bapak mengira kalo bisnya ga akan penuh. Gambling dikit. Daripada ngeluarin uang lebih banyak buat beli tiket, mendingan uangnya dipake buat beli oleh-oleh untuk sanak saudara dan famili di Wonosobo sana. Begitu mungkin pikiran si bapak. Mungkin aja, bisa ya, bisa tidak. Yah, siapa yang tahu juga?!
Note : kalo mau tahu, tanya aja sama si bapak.

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Bis sudah memasuki tol jagorawi, sekitar wilayah bekasi. Angin yang menyusup dari celah jendela membuat kami mengantuk sebenarnya. Tapi pemandangan jalan tol yang lengang diselingi sekelebatan mobil yang lewat sedikit mencuri perhatian. Tidak hanya seorang anak manusia, tapi lima dari enam orang anak manusia yang sedang dalam alam lamunan membayangkan perjalanan menuju puncak yang dinantikan. Sedangkan seorang anak manusia lainnya telah terlelap dan memulai perjalanannya sendiri di alam mimpi.
Sedang asyik ngawang –meminjam istilah yang dipopulerkan oleh salah seorang keluarga Gandewa- si bapak yang duduk di deretan bangku sebelah kiri, tepat di sebelah pintu belakang bis, dan di seberang Ijoel yang duduk di deretan bangku sebelah kanan, terlihat mencoba mengajak Iijoel mengobrol. Mungkin Ijoel diajak ngobrol karena memang hanya dia satu-satunya manusia -selain sang anak tentunya- yang berada dalam jangkauan gangguan si bapak. Secara mereka duduk bersebelahan, hanya dipisahkan oleh lorong antar bangku di bis. Tak berapa lama, Khekhel yang merasa darah jawanya disebut-sebut pada percakapan antara si bapak dan Ijoel merasa tertantang untuk ikut ambil bagian dalam obrolan. Entah karena obrolannya yang menarik, atau kemampuan si bapak dalam bercerita, tiga kepala lainnya ternyata tidak tahan untuk tidak ambil bagian, termasuk gw tentunya.

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

”Nek si ndok iki jenenge sopo?” (kalo mbak ini namanya siapa), si bapak bertanya kepada khekhel.
Dari adegan ini dapat diketahui bahwa si bapak memang menguasai teknik sales marketing tingkat dasar. Buktinya, dia dapat melihat isyarat bahwa khekhel memang ingin ikut mengobrol, dan karena dia tahu bahwa Khekhel canggung untuk masuk ke arena percakapan begitu saja, maka dia yang memulai dan mengajak khekhel untuk ikut berbincang-bincang. Hanya dengan sebuah basa-basi berupa pertanyaan sederhana, menanyakan sebuah nama.
Mungkin si bapak berprofesi sebagai seorang tukang obat di jakarta, mungkin juga salah satu agen asuransi, atau mungkin seorang IBO dari sebuah MLM yang sedang naik daun di jakarta. Yah, siapa yang tahu kalau tidak ditanyakan. Bukan begitu bukan?!
”Kulo khekhel pak”, tuh khan apa gw bilang, umpan yang disiapkan si bapak, dimakan sama khekhel. Darah jawanya langsung mendidih menyambut pertanyaan yang diajukan dengan bahasa jawa tersebut.
Adegan selanjutnya tentu dapat diduga, khekhel dan si bapak, yang belakangan diketahui bernama Sudarmo, asyik ngobrol dengan bahasa lokal. Ga usah gw ceritain secara mendetail percakapan antara Khekhel dan bapak Sudarmo, selain kaena bingung ngartiinnya, kadang gw juga ga terlalu ngerti apa yang diomongin. Maklum, biar masih berdarah jawa, gw kagak fasih ngomongnya. Yah, begitulah.
Eits, jangan menghina gw kagak ngerti budaya yach. Gw ngerti kok, cuma kadang bingung aja. Budaya jawa tuh ribet banget, suka kecampur antara klenik dan local wisdom. Gw sebagai seorang yang anti sama hal yang berbau klenik, walaupun gw ga pungkiri bahwa hal itu ada, jadi kelewat anti ma budaya jawa. Ketakutan berlebih sama klenik2an itu. Salah satu contoh dari hal yang gw sebutin barusan bisa diliat dari percakapan berikut.
Percakapan ini mengambil tempat di bangku deretan belakang dari bis Dieng Indah yang sedang melaju kencang di jalan tol jagorawi kilometer sekian. Pusat percakapan ada di seorang bapak bernama Sudarmo, asli Wonosobo. Di depan si bapak, ada sebuah kepala milik seorang makhluk cantik bernama Khekhel (eits, maksud kata cantik disini digunakan hanya untuk kata ganti jenis kelamin. Cantik = wanita, ganteng = pria. Jangan geer dulu makanya). Dan di sekeliling mereka terdapat dua kepala makhluk cantik lainnya yaitu Ijoel dan Iwed. Serta empat pasang telinga milik kepala dua orang makhluk ganteng yang kadang sok ga perduli sama isi pembicaraan tapi tetep ga mau ngalihin perhatian.
Untuk memudahkan penulisan dan pemahaman, maka seluruh isi percakapan langsung diartikan kedalam bahasa Indonesia.
”Saya ini asli Wonosobo, orang Jawa asli, Tulen. Makanya saya ngerti banget macem-macem budaya jawa. Dari kecil, saya diajari bapak saya mengenai semua budaya jawa. Jadi agak kasihan sama orang jawa yang ga ngerti sama budaya nya sendiri” JLEB, menohok banget prolog dari si bapak. Sesuai bgt ma kondisi gw. Makin terpancing gw untuk ngedeketin kuping biar ga ketinggalan obrolan. Makin yakin gw ne bapak pasti sales asuransi.
”Nama saya ini mbak, biar keliatan dan kedengerannya kampung, sangat menandakan bahwa saya orang jawa. Dan saya bangga sama hal itu mbak. SUDARMO. Su itu artinya baik, Darmo berarti perbuatan. Nama saya ini menandakanakan doa orang tua saya agar saya bisa menjadi orang yang bertingkah laku baik, sesuai dengan arti nama saya”, sumpah sebenernya kejadian pada saat si bapak ngomong ini tuh lucu banget. Coba deh ulangin baca kata2 si bapak, tapi sambil ngebayangin yang ngomong adalah seorang bapak berusia 40an, agak pendek lebih kurang 165cm, kumis tipis, rambut belah tengah, kuping agak caplang, terus yang paling penting si bapak ngomongnya ’medhok’. Geli sendiri gw inget kejadian itu.
Ngerasa dapet angin segar, karena lawan bicara cuma bisa manggut2, si bapak makin meraja-rela. ”Ndak cuma nama mbak, biasanya yang paling diperhatikan sama orang jawa tuh hari lahir mbak. Biasa disebut wethon”
”Oh, kaya yang ditivi itu ya pak. Ketik reg sepasi Wethon kirim ke 6889”, si nguga langsung nyeletuk menanggapi si bapak.
”Kurang lebih sama lah, tapi dari pada repot-repot biar bapak yang ajarin. Gampang kok sebenernya” mulai lah si bapak sibuk. Keliatan di mata gw sich tu bapak komat-kamit ga jelas. Mungkin karena kelewat takut ma klenik gw.
”Nah, mbak Khekhel lahir kapan?”, si bapak mulai beraksi.
”Tanggal 17 Oktober tahun 1989 pak”, dengan muka antusias di jawablah oleh khekhel.
”Mbak tahu itu hari apa?”
”Ga pak, khan saya baru lahir,jadi ga ngerti itu hari apa”, sahut khekhel sekenanya.
”Dino Seloso, pasarane Pon. Seloso Neptune Telu, Pon Neptune Pitu. Sepuloh”, si bapak meracau sambil memejamkan mata dan mengerutkan dahi.
”Maksudnya apa pak?”, khekhel yang merasa hal ini berhubungan dengan hidupnya, semakin penasaran sama apa yang diomaungin si bapak. Makin besar kecurigaan gw kalo si bapak tu sales asuransi.
”Neptu mbak itu jumlahnya Sepuluh. Lahir Dino Seloso berarti pemarah dan pencemburu, tapi luas pergaulannya. Pasarane Pon yang berarti saat berbicara banyak diterima orang, suka tinggal di rumah, tidak mau memakan yang bukan kepunyaannya sendiri, suka marah kepada keluarganya, jalan pikirannya sering berbeda dengan pandangan umum. Suka berbantahan dan berani kepada atasan.Tapi alhamdulilah rejekinya cukup. Sayangnya dalam masalah asmara sering mendapat kesialan”, begitulah kira-kira yang dipaparkan oleh si bapak. Khekhel hanya menanggapi dengan menganggukkan kepala dan mulut sedikit menganga. Mungkin menurut dia ramalan ini ada benarnya.
”Neptu itu berkisar antara Tujuh sampai Delapan Belas. Orang ber-Neptu Tujuh adalah orang yang lahir pada hari Selasa Wage, sedangkan orang ber-Neptu Delapan Belas adalah orang yang lahir pada hari Sabtu Pahing”, si bapak masih melanjutkan.
”Masih banyak lagi kegunaan dari Neptu ini mbak, yang biasanya digunakan adalah untuk menghitung jodoh. Neptu mbak kalau ditambahkan dengan Neptu calon suami mbak, bisa diperkirakan rumah tangga macam apa yang akan terjadi. Tapi jangan dijadikan sebagai harga mati mbak. Neptu ini, dan segala macam peramalan lainnya, hanya dijadikan sebagai acuan untuk mengambil keputusan atau sebuah tindakan. Bukan dimaksudkan untuk mendahului ketetntuan Tuhan”, omongan si bapak mengingatkan gw akan wejangan yang selalu digelontorkan oleh bokap gw setiap kali terjadi obrolan antara gw ma dia. Kurang lebih begini omongannya.
”Jangan menganggap ini ilmu hitam mas, kita harus percaya bahwa dunia ini berjalan sesuai dengan garisan yang Maha Kuasa. Dan ketentuan ini sudah dibuat jauh sebelum dunia ini ada. Kitab suci kita juga menyebutkan demikian bukan”, hal ini yang biasanya dijadikan argumen oleh bokap untuk meyakinkan gw akan ramalan-ramalan dan wejangan berdasarkan itung-itungan Jawa. Meyakinkan gw bahwa ini bukan klenik, bukan bid’ah. Menghindari apatisme gw akan hal-hal yang berbau kedukunan.
”Nah, orang-orang tua dulu tuh pinter-pinter mas. Mereka sudah bisa melihat hal ini dan menjadikan ini patokan dari setiap tindak-tanduk mereka. Kapan harus berangkat dari rumah untuk menuju sebuah tempat atau urusan. Ke arah mana sebaiknya menuju dan segala macam hal lainnya. Itung-itungan inilah yang biasanya di kenal dengan Wethon, Neptu dan lain sebagainya. Nah, kalau kamu ini diitung berdasarkan semua rumusan tersebut, bapak bisa memperkirakan kalau kamu tuh baru bisa ’ajeg’, atau menemukan arah dari hidup kamu pada saat usia kamu menginjak tahun ke 24. Tanggal 25 September 2008, satu hari setelah ulang tahun kamu yang ke 23”, ramalan yang dipaparkan oleh bokap ini gw terima pada saat usia gw 21 tahun. Sekitar 2 tahun yang lalu. Tapi gw masih inget sampe sekarang, karena gw memang berusaha untuk mewujudkan ini ramalan. Self Fullfilling Prophecy istilah bahasa Inggrisnya. Pendakian kali ini pun gw jadikan ajang untuk mewujudkan bokap punya ramalan.

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Sudah lebih dari tiga jam bis yang kami tumpangi ini beranjak dari tempat pemberangkatannya yang pertama, tapi kok ya masih aja berada di pinggiran kota jakarta. Daerah Kalimalang tepatnya. Kalo begini kapan sampe Wonosobonya?!
Jam pulang kerja, di Kalimalang macet mah udah biasa. Jalan yang memanjang mengikuit aliran sungai ini memang menjadi rute favorit untuk dilalui para pekerja sepulang mereka bekerja. Jadi yang namanya macet udah biasa. Selain karena lebar jalan yang sempi tentunya.
Kami terjebak di kemacetan ini karena bis yang kami tumpangi harus menaikkan penumpang di agen berikutnya di Kalimalang. Lebih kurang pukul sembilan kami baru sampai di agen bis tersebut. Kalau bis ini tidak berhenti terlebih dahulu di Kalimalang ini, dapat diperkirakan seharusnya kami sudah sampai di daerah Karawang.
”Bir, liat di pinggir jalan sebelah kanan arah jam empat”, Kurting angkat suara memecah lamunan yang lainnya yang dari tadi bingung mau ngapain. Serentak yang lain ikut menengok ke arah yang ditunjukkan Kurting.
”Ada apaan sich?”, Iwed yang sepanjang perjalanan memilih diam menunjukkan ketertarikan pada apa yang menjadi bahan pembicaraan.
”Lho, tuh salon namanya sama ma temen kita yach? Terus kenapa?”, sederet pertanyaan dilontarkan Iwed, karena dia memang tidak mengerti duduk masalahnya.
”Huahahaha, Bibir, apa yang lo rasain waktu lo liat tu nama?”, Rono angkat suara. Dia orang tahu sedikit lebih banyak lah dibanding Iwed. Yang paling kencang tertawa adalah Khekhel, sedang Ijoel seperti biasa hanya mengumbar senyumnya yang biasa dengan tatapan tidak biasa tentunya. Biasa nya dia senyum sambil sedikit ketawa, bibir sedikit terbuka, terus ngedipin mata. Merasa dipojokkan, terpaksalah jurus ngeles gw keluarkan.
”Sabar, sabar, karena belom sampe gunung sesi curhat ditunda”, jurus ngeles pertama: jangan menghindari topik pembicaraan, ambil sedikit celah, pasang kuda-kuda sedikit rendah, terus tanggepin dengan cool tuh masalah, tapi yakinkan bukan sekarang saatnya.
”Alaaah, dari tadi lo juga udah offside Bir. Sepanjang perjalanan tadi khan lo curcol mulu. Sekalian aja lah. Huahaha”, Kurting mulai mencoba mengorek keterangan.
”Justru karena itu, gw udah kebanyakan offside tadi, karena gw ga mau kena kartu kuning makanya gw tahan dah curhatan. Hehehe”, jurus ngeles kedua: kuda-kuda sedikit lebih direndahkan, ganti gaya bukaan, siapkan tangkisan, terus masih dengan cool mengafirmasi masalahnya, tapi kasih alasan rasional akan pernyataan barusan.
”Udah bukan kartu kuning lagi lo mah. Kartu merah, banyak banget malah. Omongan lo khan 95 persen curhat, 3 persen lead-ing terus 2 persennya sampah. Huakakak”, eh busyet, sadis juga komentar Kurting. Walupun mau ga mau harus gw akuin kebenarannya ^_^
”Ada apaan sich ne, gw makin ga ngerti. Mang ada hubungan apa Bibir sama orang yang namanya jadi nama salon itu”, Iwed makin gencar mempertanyakan.
”Kagak ada apa-apa kok Wed, iseng aja ne anak-anak”, jurus ngeles ketiga: bentengi diri dengan sedikit kelihaian, kuda-kuda tetep dipertahankan, tangkisan kalo perlu dihentakkan, jadilah sebuah pernyataan dengan penegasian.
”Udahlah Bir, ngapain sich ditunda segala curhatnya. Pake nunggu hawa gunung segala buat curhat. Ribet amat”, Ijoel sekarang ga Cuma senyum-senyum. Terpancing dia buat ngorek keterangan.
”Justru itu Joel, jangan ampe ntar keabisan bahan curhatan di gunung. Jadi ga seru ntar pendakiannya.hehehe”, jurus ngeles keempat: gabungan jurus pertama dan kedua. Kali ini bukan hanya pertahanan, tapi serangan pun dipersiapkan, tangkisan berubah jadi pukulan. Kuda-kuda tidak lagi rendah, tapi siap menerjang sasaran. Jurus keempat dikeluarkan, sebuah alasan yang harus sangat masuk akal digabungkan dengan penundaan pembahasan.
”Ga perlu khawatir lah Bir, curhatan lo kan banyak banget. 95 persen gitu. Huhuhu”, Khekhel ga mau kalah ikutan ngecengin gw. Adoooh, ne orang-orang kok ga ada menyerahnya ya. Getol banget ngorek-ngorek. Padahal tanpa dikorek pun gw akan dengan sangat senang hati menceritakan semuanya. Hahaha.
Baru aja mau ngeluarin jurus ngeles kelima yang jujur aja belom gw siapin. Karena menurut kitab Kho-Ping-Ho, seorang jagoan digjaya harusnya bisa menaklukkan musuhnya dengan tidak lebih dari lima jurus. Biasanya gw cuma perlu ngeluarin ampe jurus kedua, tapi ga tahu kenapa sekarang pake sepuluh jurus pun belom tentu bisa. Kebanyakan musuhnya kali ya.
Tiba-tiba ada sekitar lima orang yang masuk kedalam bis. Dua dari pintu depan dan tiga orang dari belakang. Waduh, ada apa gerangan. Masih dalam keadaan kebingungan, tapi bersyukur perhatian anak-anak teralihkan. Alhasil, jurus kelima tidak perlu dikeluarkan.
”Tolong digeser tempat duduknya, bakalan banyak penumpang yang baru mau masuk”, salah seorang dari lima orang yang baru masuk tersebut langsung teriak-teriak dengan suara baritonnya, yang jujur aja tidak ada nada keramahan di dalamnya.
Kayaknya lima orang tadi adalah calo yang bekerja pada agen bis ”resmi-tak resmi” ini. Yah, namanya juga agen yang masih diragukan keresmiannya, jadi wajar aja kalo calo pun meraja-lela.
”Ini kok kurang satu tempat duduknya, mana yang ga punya tiket? Seharusnya satu penumpang lagi bisa naik. Bangku paling belakang ini kok isinya cuma enam orang, harusnya khan bisa tujuh. Geser dong”, oalah... ne calo rese banget ngusir-ngusir orang. Ga pake permisi lagi.
”Kita beli tiketnya emang tujuh bang, jadi wajar dong kalo dapet tujuh bangku. Biar kita cuma berenam doang, lumayan khan bisa agak legaan”, sedikit nyolot tapi terkesan sopan, gw ga mau kalah adu argumen ma tu calo. Hasilnya, semua mata tertuju ke bangku belakang, jadi bahan tontonan buat penumpang lainnya. Bingung kali ya, kok ada yang berani nyolot sama calo-calo yang berperawakan sangar. Pun ada aja yang ga peduli, mikirin nasib sendiri yang sibuk ngangkutin barang bawaan.
Kicep karena ga bisa ngelawan argumen gw, tu calo teriak-teriak lagi di bagian depan. Masih sibuk mencari penumpang gelapnya, dengan harapan dia dapat tambahan pemasukan karena berhasil menaikkan satu lagi penumpang.
”Parah lo bir, harusnya jangan ngomong gitu. Masih untung tu calo ga ngemplang pala lo”, Kurting menyayangkan perbuatan yang barusan gw lakuin.
”Biarin aja, toh nyatanya tiket kita kelebihan atu khan. Ga ada hak dia buat ngusir dong!”, masih aja gw kekeuh ma pendirian.
”Iye, tapi tarohannya muka lo kena gampar. Omongan lo nyolot juga”, omelan lanjutan dari Kurting yang sebenarnya bentuk kekhawatiran karena perhatian. Cieee gweee. Hehehe.
”Udahlah, yang penting kagak kejadian sebagaimana yang lo khawatirkan”, gw menyudahi perdebatan, karena mang ga ada gunanya. Bis nya udah mau berangkat juga.
Akhirnya pembicaraan gw alihkan ke permasalahan yang terjadi barusan. Gw tanyain ke anak-anak pada tahu ga sebenarnya penumpang gelapnya siapa. Ga semua ngeh ternyata. Tapi argumen dari Kurting bisa dikatakan benar. Atau dapat dikatakan sesuai sama yang gw perkirakan.
Kalau pembaca yang budiman memperhatikan jalan cerita sebelumnya, seharusnya anda dapat menebak bahwa penumpang gelapnya adalah anak dari bapak Sukamto. Sebelumnya saya ceritakan bahwa si bapak ini hanya membeli satu tiket untuk dia dan sang anak, tapi menempati dua bangku yang bersebelahan. Mungkin si bapak sadar kalau jarak Jakarta-Wonosobo lumayan jauh, jadi dia membiarkan anaknya untuk duduk di bangku yang tadinya kosong tersebut, daripada harus dipangku sepanjang jalan. Capek khan.
Lagipula perhatian semua orang teralihkan oleh perdebatan gw barusan, jadi si bapak ini luput dari kecurigaan. Mungkin dalam hati dia berterima kasih sama kenyolotan gw. Yah, siapa yang tahu juga. Cara mastiinnya cuma nanya ke si bapak. Tapi siapa yang mau ngelakuinnya. Gw sich ogah, ntar dikira jumawa.
Setelah keributan mereda dan bis mulai melanjutkan perjalanannya, hampir semua penumpang bis terlelap. Termasuk enam orang anak manusia yang sedang berusaha menuntaskan hajat hidupnya. Melakukan perjalanan yang tidak akan sia-sia. Diselingi aliran angin dari celah jendela dan pemandangan jalan yang serasa tidak ada habisnya, gw manjatin sebuah doa. Sindoro, here we come.



-gigih-
1 September 2008